‘Azl Dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, hubungan seksual adalah satu perkara yang memang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Dan tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kualitas dan kuantitas hubungan seksual merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Meskipun bukan satu-satunya faktor, namun realitanya hubungan seksualitas telah menempati posisi yang sangat vital.

Berbicara mengenai hubungan seksual dalam kehidupan rumah tangga, ada satu perkara yang cukup menarik perhatian banyak pihak, yaitu perkara ‘Azl. Apakah yang dimaksud dengan ‘Azl dan bagaimanakah pandangan Islam mengenai ‘Azl tersebut?

‘Azl adalah mengeluarkan sperma di luar vagina isteri. Ketika sang suami merasakan tanda-tanda (merasakan) akan keluarnya sperma ketika sedang menggauli isterinya, seketika ia menarik kemaluannya dari dalam vagina, kemudian mengeluarkan sperma tersebut di luar vagina sang isteri. Dengan demikian, kemungkinan besar tidak akan terjadi pembuahan di rahim sang isteri. Wallahua’lam.

‘Azl ini kemudian juga banyak dikenal dengan istilah senggama terputus, atau ada juga yang menyebutnya dengan KB alami. Lalu, bagaimanakah pandangan Islam mengenai ‘Azl tersebut, apakah Islam memperbolehkan atau melarang?

Dalam hal ini, ‘Azl memang satu perkara yang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Pembolehan ini berdasarkan pada banyaknya nash-nash yang tidak melarang ‘Azl ketika banyak pengaduan mengenai perkara ‘Azl yang terjadi di masa Rasulullah saw.

“Kami pernah melakukan ‘azal pada masa Rasulullah saw, sementara pada saat itu al-Qur’an masih turun.” Ini merupakan riwayat dari ‘Atha yang berasal dari Jabir dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari. Kemudian, Jabir juga berkata:

“Kami pernah melakukan ‘azal pada masa Rasulullah saw? Hal itu disampaikan kemudian sampai kabarnya kepada beliau, dan Rasulullah tidak melarang kami”.

Dalam riwayat di atas, Rasulullah saw tidak melarang perkara ‘Azl yang dilakukan oleh para sahabat di zaman beliau. Hal tersebut dapat dilihat pada pernyataan bahwa Rasulullah saw tidak melarang ataupun marah ketika ia mendengar kabar bahwa banyak dari para sahabat yang melakukan ‘Azl. Dan tidak ada firman Allah swt yang melarang perkara ‘Azl, padahal pada waktu itu Al Quran masih dan tetap turun. Dalil inilah yang turut memperkuat hukum pembolehan ‘Azl dalam ajaran Islam.

Selain riwayat di atas, masih ada lagi riwayat-riwayat lain yang secara tidak langsung merupakan pernyataan pembolehan Rasulullah saw untuk melakukan ‘Azl. Bahkan jika diperhatikan merupakan bentuk anjuran yang dapat dilakukan dalam keadaan tertentu.

“Sesungguhnya seorang laki-laki pernah menjumpai Rasulullah saw seraya berkata, sebetulnya saya mempunyai seorang jariyah (budak wanita). Ia adalah pelayan kami sekaligus tukang menyiram kebun kurma kami. Saya sering menggaulinya, tetapi saya tidak suka jika sampai ia hamil. Mendengar itu kemudian Nabi saw bersabda: "Jika engkau mau lakukanlah azal kepadanya, karena sesungguhnya akan sampai juga kepada wanita itu apa yang memang telah ditakdirkan oleh Allah baginya.”"

Pada riwayat di atas, ternyata Rasulullah saw membolehkan seseorang untuk melakukan ‘Azl manakala ia belum atau tidak menginginkan terjadinya pembuahan atau kehamilan. Di sini kita temukan kembali bahwa ternyata Islam membolehkan perkara ‘Azl. Namun, bagaimanapun usaha kita untuk mencegah atau menghentikan terjadinya pembuahan (kehamilan), semua tetap saja berada dalam kendali Allah swt. Bagaimanapun kita melakukan ‘Azl, jika Allah swt menghendaki terjadinya pembuahan, maka terjadilah pembuahan tersebut, sebagaimana petikan riwayat di atas yang berbunyi “Jika engkau mau lakukanlah azal kepadanya, karena sesungguhnya akan sampai juga kepada wanita itu apa yang memang telah ditakdirkan oleh Allah baginya.”.

Kemudian, satu riwayat lagi yang turut memperkuat hukum diperbolehkannya ‘Azl dalam ajaran Islam, yang telah diriwiyatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id. Berikut ini adalah riwayat yang dimaksud:

“Kami pernah keluar bersama-sama Rasulullah saw dalam perang Bani Mustholiq. Kami memperoleh tahanan dari kalangan orang Arab. Kami memiliki hasrat kepada para wanita, karena kami merasa berat hidup membujang, sementara kami menyukai azal. Oleh karena itu kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab: “Mengapa kalian tidak melakukannya? Sebab sesungguhnya Allah saw telah menetapkan apa yang memang akan diciptakan-Nya sampai hari kiamat.”

Berdasarkan dalil-dalil di atas, telah sama-sama kita ketahui bahwa ‘Azl merupakan satu perkara yang tidak diharamkan di dalam ajaran agama Islam. Islam memperbolehkan umatnya untuk melakukan ‘Azl, sebagaimana Rasulullah saw memperbolehkan ‘Azl kepada para sahabat di zamannya.

Saudaraku, ‘Azl memang satu perkara yang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Namun, hendaknya ‘Azl ini menjadi pertimbangan yang matang, karena hal ini menyangkut masalah kepuasan isteri tercinta. Dan unsur kepuasan dalam hubungan suami isteri inilah yang termasuk ke dalam salah satu faktor pemicu dingin atau hangatnya kehidupan suami isteri dan rumah tangga.

Ketika sang suami melakukan ‘Azl, maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut akan mengurangi atau bahkan mungkin menghilangkan puncak kenikmatan sang isteri. Kepuasan dan kenikmatan berhubungan seksual sang isteri akan menggantung dan hilang, sementara sang suami tetap akan merasakan kenikmatan dan kepuasan tersebut.

Dalam melakukan hubungan seksual, suami maupun isteri memiliki hak yang sama, yaitu sama-sama berhak untuk merasakan kepuasan dan kenikmatan. Lalu, bagaimana kaitannya dengan ajaran Islam yang memperbolehkan melakukan ‘Azl? Dalam hal ini, tentunya komunikasi yang baik antara suami dan isteri menjadi kunci permasalahan. Hendaknya suami hanya melakukan ‘Azl dengan izin sang isteri. Jangan sampai seorang suami melakukan ‘Azl tanpa seizin isterinya, karena hal ini tentu saja akan menghilangkan haknya sebagai isteri yang sama-sama berhak untuk merasakan kenikmatan dan kepuasaan biologis. Hasrat sang suami harus dipenuhi oleh sang isteri, begitu pula sebaliknya.

Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa ‘Azl diperkenankan apabila isterinya mengizinkan. Sedangkan Umar ibnu Khattab ra dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa ’Azl itu dilarang kecuali dengan seizin isteri. Pendapat para Imam besar dalam dunia Islam dan sahabat Rasulullah saw tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan ‘Azl, bahwa Islam hanya mengizinkan seorang suami untuk melakukan’Azl dengan izin isterinya.

Saudaraku, Islam memang tidak mengharamkan perkara ‘Azl. Namun demikian, sekiranya tiada satu alasan darurat yang dapat dibenarkan, hendaknya ‘Azl tidak dilakukan. Karena, pada dasarnya Islam lebih mengutamakan untuk memperbanyak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut:

“Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak.” (HR. Abu Dawud).

“Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain.” (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).

Wallahua’lam

www.syahadat.com


0 komentar:

Posting Komentar